Nikmat Berganti Adzab

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغ

“Dua kenikmatan yang kebanyakan manusia terlena dengannya, kesehatan dan waktu luang” (HR. Bukhari)

Begitukah manusia? Lupa bagaimana nikmatnya kesehatan, tidak sadar bahwa dirinya mendapatkan anugerah kenikmatan yang besar yaitu kesehatan. Dia akan terus lupa hingga sedikit demi sedikit kenikmatan tersebut hilang berganti dengan sakit yang melanda. Barulah ketika itu dia akan sadar. Sadar bahwa kemarin dia masih bisa berjalan bahkan berlari dengan gagahnya. Sadar bahwa kemarin dia masih bisa makan dengan nikmatnya. Sadar bahwa dia kemarin masih bisa gembira, tertawa, dan bercanda dengan keluarga dan sejawat. Sadar bahwa dia kemarin tidak sadar. Kesadaran yang selalu terlambat. Begitukah manusia?

Begitu juga nikmatnya waktu luang yang dia punyai. Tak akan dia sadari kecuali ketika waktu luang tersebut berganti dengan kesibukan yang memaksanya untuk terus menerus berpacu dengan waktu. Ketika itulah dia akan menyadari, betapa pentingnya waktu yang dia punyai. Sampai-sampai seandainya dia bisa membeli waktu sehingga satu hari satu malam menjadi 25 jam, dia akan membelinya. Begitukah manusia?

Ya, begitulah manusia. Sedikit sekali dari kalangan mereka yang bisa mensyukuri nikmat Allah yang tercurahkan kepadanya. Allah Ta’ala berfirman:

وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ

“Dan sangat sedikit dari hambaKu yang bersyukur” (Saba’ 13)

Padahal Allah memerintahkan hambanya untuk selalu bersyukur kepadaNya. Allah Ta’ala berfirman:

وَاشْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

“Dan bersyukurlah kalian atas nikmat Allah kepada kalian jika kalian benar-benar hanya beribadah kepadaNya” (An Nahl 114)

Dan Allah menjanjikan bagi mereka yang bersyukur Allah akan menambah kenikmatannya. Sebaliknya Dia mengancam bagi siapa yang kufur nikmat, tidak bersyukur atas nikmat yang dia dapatkan dengan adzab yang sangat pedih.

لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ

“Seandainya Kalian benar-benar bersyukur sungguh Kami akan tambahkan kepada kalian. Dan kalau kalian benar-benar kufur maka sesungguhnya adzabKu sangatlah pedih.” (Ibrahim 7)

Tidakkah kita takut akan kehilangan kenikmatan dan tergantikan dengan adzab yang sangat pedih? Rasanya tidak ada seorang pun yang akan menjawab bahwa dia tidak takut. Semua orang ingin kenikmatan yang dia dapatkan selalu berada digenggamannya. Tidak akan dia biarkan lepas begitu saja.

Kalau begitu, apa yang telah kita lakukan untuk menjaga kenikmatan-kenikmatan tersebut? Sudahkan kita bersyukur sebagaimana telah diperintahkan? Ataukah kita kufur sehingga ancaman adzab yang sangat pedih yang sekarang menunggu kita? Sudahkah kita mengakui di dalam hati-hati kita bahwa semua kenikmatan yang kita dapatkan adalah anugerah dari Allah bukan semata-mata karena kepandaian, kecerdikan, dan kecakapan kita? Sudahkah kita membasahi lisan-lisan kita dengan berdzikir memuji Allah Ta’a atas segala kenikmatannya? Sudahkah kita menggunakan semua kenikmatan yang kita dapatkan tersebut sebagai fasilitas untuk lebih mendekatakan diri kepada Allah Ta’ala? Atau…

Apakah Engkau menunggu nikmat-nikmat tersebut dicabut dari dirimu baru Engkau akan bersyukur? La haula walaa quwwata illa billahil ‘adzhim.

Technorati Tags: , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,

Maksiat yang Engkau Lakukan…

Iblis terlaknat dan terusir dari negeri kemuliaan “hanya” disebabkan keengganannya untuk bersujud satu kali ketika dia diperintahkan untuk melakukannya. Adam dikeluarkan dari tempat yang penuh dengan kenikmatan ke negeri yang penuh dengan penderitaan dan cobaan “hanya” disebabkan karena satu suapan yang dia dilarang untuk melakukannya. Seorang yang membunuh jiwa yang haram untuk dibunuh terhalangi untuk masuk surga “hanya” disebabkan oleh tumpahnya beberapa tetes darah. Seorang yang berzina, berhak untuk mendapatkan hukuman rajam, bentuk hukuman yang sangat mengenaskan, “hanya” disebabkan karena memasukkan “sesuatu” pada yang tidak halal. Seorang juga harus rela menyerahkan punggungnya untuk dicambuk, “hanya” disebabkan seuntai kalimat tuduhan yang terlontar dari bibirnya yang mungil atau “hanya” disebabkan beberapa tetes minuman yang memabukkannya. Seseorang pun harus rela untuk berpisah dengan tangannya “hanya” disebabkan barang yang harganya tak lebih dari harga 3 butir telur ayam yang diambil dengan cara yang tidak halal.

Jangan sekali-sekali engkau merasa aman terhadap maksiat-maksiat yang Engkau perbuat sekecil apapun itu. Seseorang bisa saja melontarkan sebuah ucapan yang sama sekali tidak dipedulikannya. Akan tetapi ucapannya tersebut menjauhkan dia dari surga dan mendekatkan dirinya ke neraka. Lihatlah kisah seorang perempuan yang harus masuk neraka disebabkan oleh seekor kucing yang dia kurung. Bukankah Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

“Dan barang siapa yang beramal kejelekan seberat semut kecil maka dia akan melihat akibatnya” (Azalzalah 8 )

Berusahalah untuk selalu berada di dalam koridor keta’atan kepada Allah. Kita tidak tahu bagaimana kita akan mengakhiri hidup kita. Jangan sampai kita mati dalam keadaan bermaksiat kepada Allah. Ketahuilah bahwanya amalan itu tergantung pada akhirnya. Seorang yang berhadats sebelum salam, batallah sholatnya dari awal. Seorang yang berpuasa menahan lapar dan haus sepanjang hari yang terik, akan sia-sia belaka ketika dia berbuka sebelum maghrib. Seseorang bisa saja beramal dengan amalan penduduk surga. Hingga tidak ada jarak antara dia dan surga kecuali satu jengkal saja. Akan tetapi catatan kitab sudah mendahului dia. Pada akhirnya dia beramalan dengan amalan penduduk neraka. Dia mati dalam keadaan demikian. Maka diapun masuk ke dalam neraka.

La haula walaa quwwata illa billah.

(Sumber Al Fawa’id/Ibnul Qoyyim -dengan penyesuaian-)

maksiat

Al Quran Selayang Pandang

“Tolong jelaskan kepada saya tentang Al Quran?” Jika seorang rekan Anda bertanya demikian, kira-kira apa yang akan menjadi jawaban Anda? Mungkin Anda akan menjawab dengan sempurna bahwasanya Al Quran adalah kitab sucinya umat Islam yang merupakan kalamullah dan diturunkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui perantara Malaikat Jibril yang berisikan tentang ajaran dan petunjuk bagi umat ini…dst…dst…hingga orang yang bertanya tadi mengangguk-anggukan kepalanya dengan puas (atau mungkin malah tambah bingung?). Tapi bisakah setiap orang menjawab sesempurna itu? Yang jelas, setiap orang mempunyai tingkat keilmuan yang tidak sama. Ada yang bisa menjawab dengan hampir sempurna, dan ada yang hanya bisa menjawab dengan seadanya sesuai dengan tingkat keilmuannya. Sampai di sini tidak ada masalah. Yang masalahnya adalah kalau ada yang menjawab tanpa ilmu yang mendasarinya.

Untuk itu saya mencoba menuangkan selayang tentang Al Quran yang mungkin bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi kita tentang kitab suci kita ini. Tentu saja saya berharap sekali adanya masukan-masukan dari para pembaca untuk menyempurnakan pengetahuan kita tentang Al Quran. Agar tidak membosankan, ada baiknya dalam bentuk tanya jawab.

Tanya (T): Apa makna Al Quran secara bahasa?

Jawab (J): Al Quran secara bahasa merupakan akar kata dari qoro’a yaqro’u yang artinya bisa membaca dan bisa bermakna menghimpun. Untuk yang pertama, berarti Al Quran bermakna bacaan. Untuk yang kedua Al Quran bermakna penghimpun. Yaitu yang menghimpun berita-berita dan hukum-hukum.

T: Kalau secara istilah?

J: Secara istilah maka Al Quran adalah kalamnya Allah yang diturunkan kepada rasulNya yang terakhir yaitu Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dimulai dengan surat Al Fatihah dan diakhiri dengan surat An Nas. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآَنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab agar Kalian memahaminya” (Yusuf 2)

T: Apakah Al Quran mengalami perubahan-perubahan sebagaimana kitab-kitab sebelumnya?

J: Allah melindungi Al Quran dari perubahan, penambahan, pengurangan dan penggantian. Allah telah menjamin untuk itu. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Adz Dzikr (Al Quran) dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjaganya”(Al Hajar 9 )

T: Apa arti pentingnya Al Quran ini bagi umat manusia?

J: Al Quran adalah sumber hukum syariat yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh umat manusia. Allah Ta’ala berfirman:

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا

“Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al Furqon (Al Quran) kepada hambanya agar menjadi peringatan bagi alam” (Al Furqon 1)

Dan sumber hukum syariat Islam yang lain adalah sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

T: Kapan pertama kali Al Quran turun?

J: Al Quran pertama kali turun pada bulan ramadhan malam lailatul qodr. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ

“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam lailatul qodr” (Al Qodr 1)

Allah Ta’ala berfirman:

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ

“Bulan Ramadhan yang diturunkan padanya Al Quran” (Al Baqoroh 185)

T: Berapa umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat itu?

J: Yang masyhur adalah beliau pada saat itu berumur 40 tahun.

T: Ayat apa yang pertama kali turun?

J: Secara mutlak, ayat pertama kali turun adalah 5 ayat pada surat Al Alaq

اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَق خَلَقَ الْإِنْسَانَ مِنْ عَلَقٍ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ عَلَّمَ الْإِنْسَانَ مَا لَمْ يَعْلَم

“Bacalah dengan menyebut nama Rabbmu yang menciptakan! Yang telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Rabbmu yang Maha Pemurah. Yang telah mengajarkan dengan perantaraan pena. Mengajarkan manusia apa yang mereka tidak ketahui!” (Al Alaq 1-5)

T: Berapa jumlah surat di dalam Al Quran?

S: Semuanya ada 114 surat. Dimulai dari Al Fatihah dan diakhiri dengan An Nas.

T: Surat apa yang terpanjang?

S: Surat Al Baqoroh yang terdiri dari 286 ayat.

T: Ayat apa yang paling panjang?

J: Ayat Al Baqoroh ayat 282 yang dikenal dengan Ayatul Dain (Ayat yang menjelaskan tata cara berhutang). Ayat ini tampil 1 halaman penuh pada mushaf.

T: Ayat apa yang paling agung?

J: Ayat ke-255 dari surat Al Baqoroh yang lebih dikenal dengan Ayat Al Kursy.

T: Berapa jumlah ayat di dalam Al Quran?

J: Ulama berbeda pendapat pada hal ini dikarenakan mereka berbeda pendapat apakah Al Basmalah (بسم الله الرحمن الرحيم) terhitung sebagai ayat pertama pada setiap surat ataukah ayat khusus yang memisahkan antara surat satu dengan yang lain? Ada yang mengatakan bahwa jumlah ayat Al Quran 6666 ayat. Wallahu a’lam.

T: Apa lagi ya?

J: Banyak sekali pengetahuan tentang Al Quran yang belum tertuang di sini tapi sementara cukup aja dulu… Silakan kalo mau ditambahkan!

alquran

Tauhid Adalah Ibadah, Benarkah?

Bermula dari pertanyaan seorang teman yang menanyakan “Benarkah tauhid itu adalah ibadah?” akhirnya berkembang menjadi sebuah diskusi yang cukup menarik dan juga alot. Sampai pada akhirnya, saya berjanji untuk menulis apa yang menjadi pertanyaan teman saya ini. Mungkin dari apa yang telah kami diskusikan, ada beberapa permasalahan yang perlu diajukan di sini:

  1. Kata-kata “Tauhid” apakah disebutkan di dalam Al Qur’an atau As Sunnah?
  2. Apakah tauhid termasuk ibadah? Apa dalil-dalilnya?
  3. Kalau iya, bukankah tauhid itu tidak datang dalam bentuk amalan yang tampak seperti halnya sholat, puasa, dan lain-lain?

Saya akan mencoba untuk menjelaskan sesuai dengan ilmu yang ada pada saya dan juga dengan merujuk beberapa referensi. Asta’in billah.

1. Kata-kata “Tauhid” apakah disebutkan di dalam Al Qur’an dan As Sunnah?

Adapun di dalam Al Qur’an, saya pribadi tidak mengetahui adanya lafadzh ini disebutkan dalam Al Qur’an. Walaupun “tauhid” secara makna, sangat banyak penyebutannya di dalam Al Qur’an. Sebagaimana yang telah lalu, bahwa makna tauhid, adalah pengesaan Allah terhadap hal-hal yang menjadi kekhususan Allah, dan tidak memalingkannya untuk selain Allah. Di antara kekhususan Allah ini adalah hak peribadatan, di mana tidak ada dzat yang berhak untuk diibadahi selain Allah Ta’ala. Seperti misalnya firman Allah Ta’ala:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا

“Beribadahlah kalian hanya kepada Allah, dan janganlah kalian mensekutukan Allah dengan suatu apapun!” (An Nisa 36)

Juga firman Allah Ta’ala:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (agar mereka menyerukan): “Beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thagut!” (An Nahl 36)

Dan firman Allah Ta’ala:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ

“Ketahuilah bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah” (Muhammad 19)

Tiga ayat ini mengandung makna tauhid, yaitu menjadikan peribadatan hanya kepada Allah, dan menjauhi serta meninggalkan segala bentuk peribadatan kepada selain Allah. Inilah makna tauhid. Karena tauhid atau dalam bahasa kita pengesaan, tidak akan terjadi kecuali dengan tersusunnya dua unsur yang disebut rukun tauhid.

Rukun pertama, adalah penafian atau peniadaan adanya bentuk peribadatan kepada apapun selain kepada Allah.

Rukun kedua, adalah penetapan bahwasanya segala macam bentuk peribadatan hanyalah untuk Allah.

Perhatikanlah tiga ayat di atas, kedua rukun tersebut terdapat padanya. Dan ayat-ayat di atas adalah contoh. Masih banyak ayat-ayat lain yang maknanya memerintahkan kita untuk bertauhid.

Adapun di dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus shahabatnya Muadz bin Jabal radhiallahu ‘anhu ke negeri Yaman untuk berdakwah di sana. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mewasiatkan kepada Muadz:

إِنَّكَ تَقْدَمُ عَلَى قَوْمٍ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَلْيَكُنْ أَوَّلَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَى أَنْ يُوَحِّدُوا اللَّهَ تَعَالَى….إلخ

“Sesungguhnya Engkau akan mendatangi suatu kaum dari kalangan ahli kitab. Maka hendaknya awal dakwahmu kepada mereka adalah agar mereka bertauhid kepada Allah Ta’ala…” (HR. Al Bukhari)

“An Yuwahhiduu” kata-kata ini adalah pecahan dari akar katanya yaitu “tauhid”. Maka dengan ini pertanyaan pertama insya Allah telah terjawab. Dan untuk tambahan faedah, dari hadits di atas hendaknya seorang da’i memulai dakwahnya dengan dakwah kepada tauhid, pengesaan Allah di dalam beribadah kepadaNya. Sebagaimana ini juga awal dakwahnya seluruh nabi dan rasul ‘alaihim assholatu wa assalam.

2. Apakah tauhid termasuk ibadah? Apa dalil-dalilnya?

Sebenarnya, dari tulisan-tulisan sebelumnya pertanyaan ini sudah bisa terjawab. Dalam tulisan saya “Allah tidak butuh ibadah kita” saya sudah menjelaskan tentang makna ibadah, dan kriteria-kriteria kapan sesuatu itu disebut ibadah. Akan tetapi tidak apa-apa untuk kembali mengulasnya di sini. Ibadah sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah adalah sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik berupa perbuatan atau perkataan, baik secara lahir atau secara batin.

Dan indikasi-indikasi untuk mengetahui sebuah perbuatan dicintai dan diridhoi oleh Allah sangatlah banyak. Misalnya perintah Allah untuk melakukannya. Perintah Allah kepada hambanya untuk melaksanakan suatu perbuatan adalah indikasi bahwa Allah mencintai dan meridhoi perbuatan tersebut. Janji Allah Ta’ala berupa ganjaran pahala dan keutamaan lainnya untuk pelaku perbuatan tersebut adalah juga indikasi lain bahwa Allah mencintai perbuatan tersebut. Begitu juga ancaman terhadap orang yang meninggalkan suatu perbuatan, maka ini juga indikasi bahwa perbuatan tersebut adalah dicintai oleh Allah.

Kita ambil contoh ibadah sholat. Sholat adalah ibadah. Saya kira tidak ada yang tidak sepakat untuk itu. Tapi pernahkah kita dapatkan di Al Qur’an dan As Sunnah yang menyebutkan secara jelas dan tegas bahwa sholat itu ibadah? Misalnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sholat adalah ibadah”. Dapatkah kita jumpai hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengatakan demikian? Atau dari Al Qur’an? Wallahu a’lam. Saya secara pribadi dengan segala keterbatasan ilmu saya tidak mengetahui akan hal itu. Dan perlu diingat, ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu bukan berarti sesuatu itu tidak ada. Hmm, kaidah ini perlu untuk saya ulangi dan dicetak tebal. Ketidaktahuan seseorang terhadap sesuatu bukan berarti sesuatu itu tidak ada. Contoh sederhana dari kaidah ini seandainya kita ditanya, “Apakah di rumahmu ada tikus?” Sementara kita sendiri tidak tahu, apakah di rumah kita ada tikus atau tidak ada. Apakah ketidahktahuan kita akan menyebabkan serta merta kita menjawab “Tidak ada!”? Atau kita menjawab “Tidak tahu”? Toh bisa saja rumah kita disusupi tikus-tikus yang kita tidak tahu di mana mereka berada.

Kembali kepada pembahasan. Saya tidak tahu dan saya katakan “wallahu a’lam” tentang ayat dari Al Qur’an atau dari As Sunnah yang menyatakan bahwa “Sholat itu ibadah”. Akan tetapi, kalau saya ditanya apakah sholat itu ibadah? Tentu saja saya akan menjawab dengan pasti, “Jelas sekali bahwa sholat itu ibadah.”

Bukankah Allah memerintahkan kepada kita untuk mendirikan sholat?

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآَتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

“Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah berserta orang-orang yang rukuk!” (Al Baqarah 43)

Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan keutamaan sholat?

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ نَهَرًا بِبَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ

فِيهِ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسًا مَا تَقُولُ ذَلِكَ يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ قَالُوا لَا يُبْقِي مِنْ دَرَنِهِ شَيْئًا قَالَ فَذَلِكَ مِثْلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ يَمْحُو اللَّهُ بِهِ الْخَطَايَا

“Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabada: “Kabarkan kepadaku jika seandainya di depan pintu salah seorang dari kalian mengalir sungai. Dia mandi di situ lima kali sehari. Apa yang kalian katakan? Apakah yang demikian itu akan menyisakan suatu noda padanya? Para shahabat menjawab, “Tidaklah menyisakan dari nodanya sedikitpun”. Maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Yang demikian itu seperti halnya sholat lima waktu. Allah hapus dengannya kesalahan-kesalahan” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Bukankah Rasulullah telah mengancam mereka yang meninggalkan sholat dengan ancaman kekufuran?

عن جابر قال: سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلَاةِ

“Dari Jabir radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Antara seseorang dan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim)

Sholat adalah satu perintah Allah, memiliki keutamaan yang besar, dan orang yang meninggalkannya terancam dengan ancaman yang besar. Dari indikasi-indikasi ini menunjukkan bahwasanya Allah mencintai dan meridhoi perbuatan sholat ini. Karena itu sholat adalah ibadah.

Kembali kepermasalahan tauhid. Apakah Allah memerintahkannya? Jelas sekali. Banyak sekali ayat yang memerintahkan kita untuk bertauhid. Misalnya firman Allah Ta’ala:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئً

“Dan beribadahlah kalian hanya kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukannya dengan suatu apapun” (An Nisa 36)

Begitu juga tentang keutamaannya. Rasulullah mewasiatkan kepada Muadz bin Jabal radhialllahu ‘anhu:

يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ وَلَا يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ قَالَ لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا

“Wahai Mu’adz, tahukah Engkau hak Allah atas hambaNya, dan hak hamba atas Allah?” Aku berkata: “Allah dan rasulNya lebih tahu”. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hambaNya yaitu mereka hanya beribadah kepadaNya saja dan tidak menyekutukanNya dengan satu apapun. Dan hak hamba atas Allah yaitu Dia tidak mengadzab siapa saja yang tidak menyekutukanNya dengan satu apapun.” Maka aku berkata, “Wahai Rasulullah, tidakkah aku mengkhabarkan manusia tentang ini?” Rasulullah ‘shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jangan Engkau kabarkan mereka lalu mereka hanya bersandar diri!” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Adapun orang yang melanggar tauhid dan melakukan yang merupakan lawan dari tauhid yaitu kesyirikan terancam dengan ancaman yang sangat keras. Allah telah berfirman:

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Sesungguhnya barang siapa yang berbuat syirik kepada Allah maka Allah telah haramkan atasnya surga. Dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang dzholim.” (Al Maidah 72)

Begitu juga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ لَقِيَ اللَّهَ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَهُ يُشْرِكُ بِهِ دَخَلَ النَّارَ

“Barang siapa yang berjumpa Allah dan dia tidak menyekutukanNya dengan apapun maka dia akan masuk surga dan barang siapa berjumpa denganNya dan dia menyekutukanNya dengan sesuatu dia akan masuk neraka.” (HR. Muslim)

Tentu saja dengan dalil-dalil di atas, kita yakin bahwasanya perkara tauhid ini adalah perkara yang dicintai oleh Allah dan diridhoi olehNya. Dengan demikian kita dapat simpulkan bahwasanya tauhid ini adalah ibadah yang dicintai dan diridhoi oleh Allah. Bahkan, selain tauhid itu adalah ibadah, dia menjadi landasan dan pondasi untuk ibadah lain, agar ibadah lain itu diterima oleh Allah Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu (wahai Muhammad) dan kepada mereka yang sebelum Engkau, “Jika Engkau berbuat kesyirikan maka sungguh amalan-amalanmu akan terhapus dan Engkau akan termasuk dari orang-orang yang merugi” (Az Zumar 65)

Dan bukan suatu yang aneh, jika ibadah-ibadah harus dibangun di atas suatu pondasi yang pondasi tersebut adalah ibadah pula. Bukankah dinding sebuah bangunan yang tersusun dari batu bata atau batu batako yang bertumpuk-tumpuk terbangun di atas suatu pondasi yang batu pula? Wallahu a’lam.

Mudah-mudahan penjelasan di atas bisa menjelaskan bahwa tauhid adalah ibadah.

Sekarang, tersisa pertanyaan ke-3, yaitu bahwa tauhid tidak berbentuk amalan seperti halnya sholat, puasa, haji, zakat dan lain-lain?

Sebenarnya, kita sudah mendapatkan jawabannya sejak kita mengetahui apa pengertian dari ibadah. Bahwa yang namanya ibadah tidak hanya mencakup amalan badan, tapi juga mencakup amalan hati dan lisan. Tawakkal, rasa takut, pengharapan, ikhlash, rasa cinta dan lain-lain yang berhubungan dengan hati adalah ibadah ketika itu adalah hal-hal yang dicintai oleh Allah dan diridhoi olehNya. Sebagaimana juga halnya dzikr, membaca Al Qur’an, berkata jujur dan hal-hal yang berkaitan dengan lisan dan dicintai oleh Allah serta diridhoi olehNya adalah ibadah. Ibadah tidaklah terbatas terhadap amalan-amalan yang sifatnya lahiriyah saja akan tetapi juga mencakup yang sifatnya batiniyah. Wallahu Ta’ala A’lam.

tauhid ibadah

Kisah Orang-Orang Pandir Dan Dungu (I)

Pada suatu hari, Juha memendam uang-uangnya di padang pasir. Setelah itu Juha melihat awan yang tepat di atasnya, dan menjadikannya sebagai tanda di mana dia memendam uang-uangnya.

****

Abahnya Juha pergi ke Mekkah untuk ibadah haji. Maka Juha berpesan kepada abahnya sebelum pergi, “Demi Allah, Abah jangan pergi lama-lama. Berusahalah supaya Abah bisa bersama kami ketika hari raya.”

****

Abahnya Juha meninggal. Ada yang berkata kepadanya, “Pergi, dan belilah kain kafan!” Juha menjawab, “Aku khawatir kalau aku yang membeli kain kafannya, aku nanti terlambat untuk mensholatkannya”

****

Juha mendengar seseorang berkata, “Alangkah indahnya bulan itu!” Juha menimpali, “Tentu saja, terutama di malam hari!”

****

Seseorang berkata kepada pelayannya, “Keluar dan lihatlah, apakah cuaca sedang cerah atau mendung?” Pelayannya keluar dan kemudian kembali seraya berkata, “Demi Allah, di luar sedang hujan. Aku tidak bisa melihat apakah sekarang mendung atau cerah!”

****

Seorang pedagang sukses, mempunyai anak yang dungu. Pada suatu hari, peti-peti yang berisikan barang-barangnya dicuri orang. Dia tertunduk sedih. Orang-orang menghiburnya dan mendoakannya agar dia diganti dengan yang lebih baik. Tiba-tiba anaknya datang dan heran melihat banyak orang. “Ada apa ini?” “Seseorang telah mencuri peti-peti bapakmu”. Tiba-tiba anak ini tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Tenang saja, barang-barangnya aman!”. Orang-orang heran, menyangka bahwa dialah yang menyembunyikan peti-peti tersebut. Bergegas mereka memberitahu bapaknya. Bapaknya berkata kepada anaknya, “Kabarkan kepadaku apa yang kau ketahui!” Masih tertawa anak ini menjawab, “Bapak tenang saja! Barang-barang kita aman. Kunci peti-peti itu aku yang pegang!”

****

Abdullah bertanya kepada seseorang, “Sekarang tanggal berapa?” Orang itu menjawab, “Ma’afkan aku, aku bukan orang sini”

****

Ibunya Abdullah meninggal. Orang-orang datang untuk melayat. Tiba-tiba seseorang yang dikenal pandir masuk sambil tertawa riang dan menyalami Abdullah. Orang-orang heran kenapa dia malah tertawa. Abdullah bertanya, “Kenapa Engkau tertawa?” Si Pandir menjawab, “Tadinya aku sedih, karena yang aku dengar Engkaulah yang meninggal. Ternyata cuma ibumu yang sudah tua itu saja yang meninggal!”

****

Abul Anbas berkata, “Aku melewati sebuah jalan untuk keperluanku. Tiba-tiba seorang perempuan menghampiriku dan berkata, “Maukah Engkau aku nikahkan dengan seorang gadis dan Engkau mendapatkan seorang anak laki-laki darinya?” Aku menjawab, “Tentu saja!”. Dia berkata, “Kemudian Engkau menitipkan anakmu kepada juru tulis, kemudian anakmu pergi bermain, naik ke atas atap, terjatuh dan kemudian mati!” Perempuan ini menjerit-jerit, “Aduh celaka!” dan menampar-nampar mukanya sambil histeris. Aku berkata, “Ini perempuan gila!”. Akupun kabur darinya sampai aku berjumpa dengan seorang kakek yang sudah tua di depan rumahnya. “Kenapa Engkau berlari anakku?” Dia bertanya. Akupun menceritakan kisah yang aku alam. Ketika aku ceritakan bahwa perempuan itu menampar-nampar mukanya, si kakek itu adalah perkara yang besar. Dia berkata, “Kalau menangis, itu memang sudah semestinya bagi seorang wanita ketika dia mendapatkan kematian!” Ternyata si kakek lebih bodoh dan lebih pandir.

****

Seorang pandir menatap heran ke arah menara masjid yang sangat tinggi. “Alangkah tingginya orang yang membangun menara tersebut!” Yang lain berkata, “Diam, dasar bodoh! Apakah engkau mengira ada yang setinggi itu di dunia? Mereka membangunnya di atas tanah, baru kemudian dinaikkan!”

Di sadur dari, “Akhbarul Hamqo wal Mughaffaliin” karangan Al Imam Ibnul Jauzy rahimahullah dengan penyesuaian bahasa.

Bencana Kelaparan Dalam Sejarah

Harga yang melangit. Kelangkaan kebutuhan pokok. Terjadinya dua hal ini memang tidak membuat nyaman. Bahkan sangat mencemaskan. Rembetannya bisa kemana-mana. Adanya kelaparan. Tindak kriminal yang semakin meningkat. Demo di mana-mana. Tindakan anarkis menjadi-jadi. Hilangnya rasa aman. Dan seabrek bentuk ketidaknyamanan lainnya. Siapa yang disalahkan? Ah, memang gampang untuk menyalahkan orang lain. Tetapi alangkah susahnya untuk mengaca dan melihat kekurangan yang ada pada diri sendiri. Padahal Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ

“Dan apa saja yang menimpa kalian dari musibah yang ada maka itu karena disebabkan oleh apa yang tangan-tangan kalian lakukan. Dan Allah memaafkan banyak darinya.”(Asy Syura 30)

Lihatlah! Renungkanlah! Allah timpakan musibah-musibah itu kepada kita disebabkan ulah tangan kita sendiri. Padahal, banyak dari ulah yang telah kita lakukan telah dimaafkan oleh Allah Ta’ala! Bagaimana seandainya setiap ulah dibalas oleh Allah? Tidak terbayangkan!

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada kaum hingga mereka sendiri yang mengubah apa yang ada pada mereka”(Ar Ra’d 11)

Sudah saatnya kita berintropeksi terhadap apa yang kita lakukan. Tidak perlu menyalahkan yang lain, institusi ataupun perorangan. Lebih selamat untuk kita melihat pribadi kita masing-masing dan membenahinya.

Mungkin ada baiknya kita melongok ke belakang dan membuka lembaran-lembaran sejarah yang hampir terlupakan. Ternyata, malapetaka sama yang lebih dahsyat pernah melanda umat ini. Setidaknya sebagian dari mereka. Sebagaimana yang terekam oleh goresan pena Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah di dalam kitab beliau Al Bidayah wa An Nihayah. Marilah kita simak bersama:

Tahun 281 H (± 861 M)

“Harga-harga sangatlah mahal. Manusia di dalam kesusahan sampai mereka saling makan satu dengan yang lain. Seseorang bisa memakan anaknya sendiri laki-laki dan perempuan. Inna lillahi wa innailaihi raji’un.” (Al Bidayah wa An Nihayah 11/81)

Tahun 334 H (± 914 M)

“Di Baghdad terjadi kenaikan harga yang hebat sampai penduduknya memakan bangkai, kucing dan anjing. Bahkan ada yang menculik anak-anak, memanggang mereka kemudian dimakan.”( Idem 11/241)

Tahun 449 H (± 1029 M)

“Manusia memakan bangkai-bangkai dan hal-hal busuk disebabkan sedikitnya makanan. Ditemukan pada seorang perempuan paha anjing yang sudah menghijau. Seseorang bisa memanggang bayi dipemanggangan kemudian memakannya. Seekor bangkai burung jatuh dari tembok dan diperebutkan lima orang yang saling berbagi dan memakannya.

Terjadi wabah di daerah Alahwaz, Bawath dan lainnya sampai merata di seluruh negeri. Kebanyakannya disebabkan oleh kelaparan. Orang-orang faqir memanggang anjing, membongkar mayat-mayat dari kuburan, dan memakan mereka.”(Idem 12/89)

Tahun 597 H (± 1177 M)

“Kenaikan harga sangat dahsyat di mesir. Banyak sekali makhluk yang binasa dari kalangan orang-orang kaya atau miskin. Kemudian disusul dengan kelangkaan barang yang dahsyat. Sampai-sampai Asy Syaikh Abu Syamah menyebutkan di “Ad Dzail” (nama kitab -pent) : Al Adil (salah satu penguasa -pent) selama satu bulan dari tahun ini telah mengkafani dari hartanya sendiri kira-kira 220 ribu mayat. Pada waktu itu anjing-anjing dan mayat-mayat dimakan di mesir. Begitu juga dari kalangan anak-anak, mereka telah dimakan dalam jumlah yang banyak. Bapak dan ibu memanggang anaknya sendiri kemudian keduanya memakannya. Dan yang seperti ini sangat banyak terjadi di tengah-tengah manusia sampai sudah tidak ada lagi bentuk pengingkaran di antara mereka. Ketika anak-anak kecil dan mayat-mayat sudah habis, maka yang kuat melahap yang lemah, disembelih dan dimakan.

Seseorang menjebak si miskin, membawanya untuk memberinya makan dan sesuatu. Setelah itu si miskin disembelih dan dimakan. Seseorang menyembelih istrinya dan memakannya. Dan ini tersebar di antara mereka tanpa adanya pengingkaran atau keluhan. Bahkan mereka saling memaklumi. Ditemukan bersama sebagian orang 400 kepala. Telah binasa banyak dari kalangan dokter yang dipanggil untuk orang-orang yang sakit. Dokter-dokter ini disembelih dan dimakan.

Seseorang memanggil dokter kemudian menyembelihnya dan memakannya. Seseorang pria memanggil dokter yang mahir dan pria ini adalah orang yang berharta. Maka dokter ini pergi bersamanya dengan gemetar dan takut. Pria ini bersedekah terhadap siapa saja yang dia temui di jalan, banyak berdzikir kepada Allah dan mensucikanNya. Maka dokter ini pun menjadi ragu dan mulai menduga-duga. Akan tetapi rasa serakah membawanya untuk terus bersama pria tersebut sampai masuk ke rumahnya. Ternyata rumahnya dalam keadaan hancur. Dokter ini pun kembali ragu. Maka pria tersebut keluar dan berkata, “Bersamaan dengan keterlambatan ini, engkau telah membawa hasil buruan untuk kami”. Ketika mendengarnya, sang dokter pun segera kabur. Pria itu pun mengejarnya. Dokter itu tidaklah lolos kecuali dengan susah payah.” (Idem 13/32-33)

Empat kejadian di atas dengan tahun yang berbeda, adalah contoh dahsyatnya bencana kelaparan yang menimpa sebagian orang. Tiba-tiba orang menjadi kanibal. Jangankan untuk merasa aman pada keluarga. Pada diri sendiri saja seseorang tidak bisa merasa aman. Bahkan, mereka yang sudah mati saja tidak aman jasad mereka dari sergapan orang-orang kelaparan tersebut. La haula wa laa quwwata illa billah. Tentu saja, mereka tidak ingin seperti itu. Tidak ada yang tega untuk menyembelih anaknya sendiri apalagi sampai memakannya. Tapi keadaannya tidak memungkinkan untuk membuat pilihan!

Bandingkan dengan keadaan diri-diri kita saat ini. Jauh lebih baik. Belum pernah kita dengar ada yang memanggang anaknya. Belum pernah kita baca ada dokter yang disembelih dan dimakan karena pasiennya lapar. Belum muncul di dalam mediamassa seorang istri dibunuh dan dimakan karena suaminya lapar. Anjing-anjing dan kucing-kucing masih berkeliaran dengan aman.

Pantaskah kita untuk mengeluh? Pantaskah kita untuk menyalahkan? Tidak, tulisan ini tidak dibuat untuk membela mereka yang selalu terhujat. Tapi alangkah lebih baiknya – sekali lagi-, kalau kita mencari kesalahan itu pada diri-diri kita. Bukankah kalau kita temukan kesalahan-kesalahan itu pada diri kita, kita bisa memperbaikinya? Akan tetapi kalau kita tersibukkan dengan melihat kesalahan orang lain? Jangankan untuk memperbaiki kesalahan pribadi, untuk menemukan kesalahan itu sendiri kita tidak punya waktu. Sungguh tepat pepatah lama mengatakan, “Kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak tampak”

Lupakah kita dengan sifat orang mukmin yang disebutkan oleh baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di mana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan, bahwasanya orang mukmin, jika mendapatkan kelapangan dia bersyukur, sesuatu hal yang baik buat dia. Dan jika mendapatkan kemalangan, dia bersabar. Dan inipun baik buat dia. Hendaknya kita berusaha untuk selalu berada di antara dua keadaan, antara bersyukur dan bersabar bukan sebaliknya, mengeluh dan lupa diri. Wallahu a’lam bi ash showab.

bencana kelaparan sejarah harga naik barang langka

Sudahkah Engkau Bertauhid?

Allah menciptakan jin dan manusia dengan satu tujuan. Ibadah. Tidak untuk tujuan yang lain. Karena itu semestinyalah bagi kita untuk mempelajari apa saja yang termasuk dari kategori ibadah ini, tingkatan-tingkatannya, serta keutamaan-keutamaannya.

Salah satu ibadah yang paling penting untuk kita ketahui, kita pelajari dan kita amalkan adalah tauhid. Suatu ibadah, di mana ibadah-ibadah yang lain berlandaskan kepadanya.

Sebelum kita mengenal lebih jauh tentang arti pentingnya tauhid ini, alangkah baiknya kita mengetahui terlebih dahulu apa itu tauhid.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi III hal 1149, tauhid adalah keesaan Allah. Akan tetapi, karena kata “tauhid” ini asalnya adalah dari bahasa arab, maka akan lebih baik kalau kita meninjaunya dari bahasa aslinya.

Tauhid secara bahasa adalah asal kata dari wahhada yuwahhidu yang kalau diartikan adalah menjadikan sesuatu itu satu. Atau dalam bahasa kita mengesakan sesuatu.

Adapun secara istilah, tauhid adalah pengesaan Allah terhadap hal-hal yang menjadi kekhususan bagiNya. Artinya segala sesuatu yang itu merupakan kekhususan Allah Ta’ala (akan dibahas setelah ini insya Allah), maka wajib bagi kita sebagai makhlukNya untuk mempersembahkan sesuatu tersebut hanya untuk Allah, apakah dengan keyakinan, ataupun dengan amal perbuatan.

Salah satu kekhususan yang harus kita persembahkan untuk Allah baik berupa keyakinan atau berupa amalan adalah ibadah. Ibadah kita harus dibangun di atas dasar tauhid yang kuat. Tauhid ibarat pondasi, dimana ibadah yang lain terbangun di atasnya. Tanpa adanya tauhid, sia-sialah amal dan ibadah seseorang sebagaimana Allah khabarkan tentang amalan ahlu syirik yang mereka ini tidak bertauhid di hari kiamat:

وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا

“Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan.” (Al Furqon 23)

Sebagaimana sholat tidak akan diterima tanpa bersuci (wudhu’, mandi atau tayammum) begitu juga ibadah, tidak akan diterima tanpa adanya tauhid. Jika sholat seseorang akan rusak karena hadats yang menimpanya, maka begitu juga ibadah seseorang akan rusak jika bercampur dengan kesyirikan.

Maka, orang yang bertauhid adalah orang yang menyerahkan segala bentuk peribadatan yang telah dijelaskan baik di dalam Al Qur’an atau di dalam As Sunnah hanya kepada Allah Ta’ala. Tidak sedikitpun dia persembahkan untuk selain Allah. Semua yang namanya ibadah, wajib baginya untuk dipersembahkan hanya untuk Allah. Kita amalkan ibadah tersebut karena ini adalah perintah Allah atau perintah rasulNya yang nota bene adalah perintah Allah juga. Bukan karena si fulan atau si allan. Apalagi sampai menyerahkan ibadahnya kepada makhluk selain Allah. Tidak kepada malaikat yang mereka dekat dengan Allah ataupun kepada para nabi dan rasul yang mereka adalah pilihan Allah. Apalagi kepada selain mereka. Tidak sedikitpun mereka ini mempunyai hak untuk di ibadahi. Hanya Allah saja yang mempunyai hak untuk diibadahi. Dia berdoa hanya kepada Allah. Dia bertawakkal hanya kepada Allah. Dia berharap dan takut hanya kepada Allah. Dia meminta pertolongan hanya kepada Allah. Dia meminta perlindungan hanya kepada Allah. Dia bernadzar hanya untuk Allah. Dia menyembelih pun hanya untuk Allah. Dia sujud hanya menghadap Allah. Dia sholat hanya karena Allah. Begitu juga ibadah-ibadah dia yang lain. Puasa, zakat, haji, berbakti kepada orang tua, sedekah, menolong sesama, menghormati tetangga, memuliakan tamu, berkata yang baik dan sebagainya. Tidak sedikitpun dia persembahkan kepada selain Allah.

Dia tahu bahwasanya apapun bentuk amalan ibadah yang dia lakukan haruslah berlandaskan tauhid dan ikhlash.

Dia tahu tauhid dan ikhlash inilah kunci untuk mendapatkan ampunan Rabbnya.

Dia tahu dengan tauhid dan ikhlash inilah kunci kebahagiaan dunia dan akhirat bisa tercapai.

Dengan tauhid dan ikhlash, tiket untuk menikmati surga lengkap dengan segala fasilitasnya bisa diperoleh.

Dengan tauhid dan ikhlash dia selamat dari ancaman kekal di dalam api neraka.

Maka dia curahkan segenap kemampuannya untuk selalu bersikap ikhlash, hanya mempersembahkan ibadah itu hanya untuk Allah semata. Dia sangat paham arti pentingnya tauhid sebagaimana dia juga sangat paham kalau nilai-nilai tauhid dan keikhlasan tersebut hilang dari dalam jiwanya maka bahaya sangat besar telah mengancam dirinya. Dia sangat paham bahwasanya tanpa adanya tauhid, jangan harap amal ibadah akan diterima oleh Allah. Bahkan, amalan-amalan dia sebelumnya akan sirna tak berbekas. Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan telah diwahyukan kepadamu dan kepada (para nabi) sebelummu, “Seandainya engkau melakukan kesyirikan, maka akan gugurlah amalanmu, dan engkau akan termasuk orang-orang yang merugi.”(Az Zumar 65)

Tanpa adanya tauhid jangan harap surga dan segenap kenikmatan bisa diperoleh. Bahkan api neraka yang menyambar-nyambar siap untuk melahapnya tanpa dia punya daya untuk keluar.

Tanpa adanya tauhid tidak ada kata ampun baginya kalau dia mati dalam keadaan demikian.

Tanpa adanya tauhid hilanglah seluruh bentuk rasa aman.

Tanpa adanya tauhid hanya ada satu yang pasti untuknya, kegelapan masa depan dan kesengsaraan yang abadi.

Laa haula walaa quwwata illa billah!

Maka, sudahkah engkau bertauhid?

Pembantu Durhaka!

Anda mempekerjakan seorang pembantu. Anda mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mendatangkannya. Mulai dari mencari dia di pedesaan. Kemudian proses penseleksian. Sampai akhirnya anda dapatkan seorang yang anda kira cocok, kemudian anda jemput dia untuk dibawa ke rumah anda. Proses yang tidak mudah dan tidak murah. Setelah itu anda dengan kedermawanan anda, anda berusaha untuk memperhatikan segala bentuk kebutuhan sang pembantu ini tadi. Makan, minum, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan sebagainya. Tidak ada kata tidak nyaman bagi sang pembantu ini. Anda lakukan ini semua dengan harapan bahwa dia akan membalas dengan pelayanan yang baik. Semua pekerjaannya dilakukan dengan tertib dan baik. Kalaupun ada kekurangan, bisa dengan cepat ditutupi dan diperbaiki. Sehingga demikian terjadi simbiosis mutualisme dimana kedua pihak saling menguntungkan dan tidak ada yang dirugikan.

Ternyata harapan anda tidak sesuai dengan kenyataan. Dengan segala bentuk layanan dan fasilitas yang anda berikan ternyata sang pembantu ini sering mangkir dari kerjanya. Hampir tidak ada pekerjaan yang bisa diselesaikan dengan baik. Bahkan kalau diminta untuk mengerjakan sesuatu, seringnya dia menolak. Kalau ditegur sukanya bantah. Bicaranya kasar. Tak ada nilai keramahan. Tak jarang dia mengambil sikap melawan. Yang lebih menjengkelkan lagi, ternyata dia bersikap 180 derajat dengan tetangga sebelah. Tanpa diminta dia bantu itu tetangga. Dengan senyum ramah. Tutur kata yang halus. Tanpa segan menawarkan bantuan. Dikerjakan dengan seksama dan tuntas. Padahal, pintu rejekinya bukan lewat dia. Anda yang berstatus majikan setiap hari berusaha untuk memenuhi segala atribut kesejahteraan sang pembantu.

Apa reaksi anda kalau mendapatkan pembantu seperti ini? Jengkel, makan hati, kesal, gondok, marah, geram, dan semua sinonimnya bertumpuk-tumpuk di hati anda. Sebuah reaksi yang wajar. Anda merasa rugi kuadrat karena kebaikan yang anda berikan dibalas dengan sebuah kekurangajaran. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitu pepatah lama mengatakan

Bagaimana pandangan anda dengan sang pembantu ini tadi? Pastilah anda akan berpandangan bahwa pembantu ini adalah pembantu yang kurang ajar, tidak tahu balas budi, durhaka, pembangkang, pemberontak, dan segenap kata yang pas untuk menggambarkan dia ini.

Kalau saya boleh bertanya, mana yang lebih kurang ajar, pembantu itu tadi atau seorang hamba yang diciptakan oleh Rabbnya. Kemudian dia berada di bawah penjagaanNya. Rejeki selalu mengalir siang dan malam. Kenikmatan yang tiada hentinya sesaatpun dia rasakan. Fasilitas alam yang dia nikmati. Dan semuanya yang pada hakikatnya adalah karunia Allah yang diberikan untuk hambanya. Apa tujuannya? Tak lain dan tak bukan adalah agar hamba ini tulus ibadahnya hanya untuk Allah.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka beribadah kepadaKu saja.” (Adz Dzariyat 56)

Ikhlas dan tidak mengotori hatinya dengan segala bentuk peribadahan lain selain kepada Allah. Itu saja. Akan tetapi, ternyata hamba ini, yang diminta untuk ta’at kepada setiap perintah Allah, justru dia membangkang. Perintah-perintah Allah yang seharusnya dia laksanakan dilanggarnya. Adapun larangan-laranganNya yang sudah semestinya dia jauhi malah dikerjakan. Yang lebih parah lagi, ketulusan beribadah yang seharusnya dia persembahkan untuk Allah semata dan merupakan maksud dari penciptaannya, dia persembahkan juga untuk yang lain. Padahal, sesembahan yang lain itu, tidak sedikitpun punya jasa untuk dia. Bukan dia yang menciptakannya. Tidak pula dia yang memberikannya rejeki. Tidak juga pemeliharaan dan penjagaan. Bahkan, yang anehnya, objek lain yang diibadahi tadi, tidak jarang merupakan hasil kreasinya sendiri. Dia curahkan hartanya untuk membuat objek tadi ini. Tidak bisa mendengar, tidak bisa melihat, apalagi memberi manfaat atau mendatangkan mara bahaya. Bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Aneh. Sungguh sangat aneh tapi nyata. Objek yang penuh dengan segala bentuk aib dan kekurangan kemudian dijadikan sesuatu yang agung dan dimuliakan. Bahkan disembah seolah-olah nasib dan peruntungannya ada ditangan objek ini tadi.

Mana yang lebih kurang ajar, pembantu atau seorang hamba yang melakukan demikian?

Inilah yang disebut dengan kesyirikan. Permisalan di atas bukanlah bentuk analogi atau kiyas yang membandingkan antara Allah dengan hambaNya. Permisalan di atas hanya bentuk untuk memudahkan kita agar bisa memahami apa itu kesyirikan dan seberapa besar dampak bahaya yang ditimbulkan. Permisalan yang disebutkan oleh Nabi Yahya ‘alaihi assalam ketika beliau mengumpulkan Bani Israil di dalam Baitul Maqdis (Masjid Al Aqsho) hingga masjid tersebut penuh kemudian beliau ‘alaihi assalam berkata:

إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي بِخَمْسِ كَلِمَاتٍ أَنْ أَعْمَلَ بِهِنَّ وَآمُرَكُمْ أَنْ تَعْمَلُوا بِهِنَّ أَوَّلُهُنَّ أَنْ تَعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَإِنَّ مَثَلَ مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ كَمَثَلِ رَجُلٍ اشْتَرَى عَبْدًا مِنْ خَالِصِ مَالِهِ بِذَهَبٍ أَوْ وَرِقٍ فَقَالَ هَذِهِ دَارِي وَهَذَا عَمَلِي فَاعْمَلْ وَأَدِّ إِلَيَّ فَكَانَ يَعْمَلُ وَيُؤَدِّي إِلَى غَيْرِ سَيِّدِهِ فَأَيُّكُمْ يَرْضَى أَنْ يَكُونَ عَبْدُهُ كَذَلِكَ

“Sesungguhnya Allah memerintahkanku dengan lima perkara agar aku beramal dengannya, dan aku perintahkan kalian agar kalian beramal dengannya pula. Yang pertama, beribadahlah kalian kepada Allah saja dan jangan kalian berbuat kesyirikan. Sesungguhnya permisalan seseorang yang melakukan kesyririkan kepada Allah Ta’ala adalah seperti seseorang yang membeli seorang budak murni dari hartanya, emas ataupun perak. Kemudian orang ini berkata, “Ini rumahku dan in pekerjaanku. Maka bekerjalah dan tunaikan untukku!” Akan tetapi budak ini ternyata bekerja untuk selain tuannya. Siapakah di antara kalian yang ridho budaknya seperti itu?” (HR. Imam Tirmidzi no 2790 dari shahabat Harits Al Asy’ari)

Ya benar! Siapakah di antara kita yang ridho dan rela kalau budak atau pembantu kita melakukan demikian? Kita yakin tidak akan ada. Bisa diartikan sebagai bentuk pengkhianatan.

Begitu juga, seseorang yang melakukan kesyirikan kepada Allah Ta’ala berarti dia telah melakukan pengkhianatan. Pengkhianatan kepada fitrah dirinya. Pengkhianatan kepada Allah. Pengkhianatan kepada tujuan penciptaannya.

Kesyirikan dan ibadah adalah dua hal yang kontradiksi. Sehingga ketika seorang hamba melakukan kesyirikan, maka pada saat itu dia telah melakukan perbuatan yang paling berlawanan dan paling bertentangan dengan tujuan dia diciptakan.

Dengan demikian, kita bisa mengerti kenapa kesyirikan ini adalah sebesar-besarnya kejahatan dan tindak kriminal yang dilakukan oleh seorang hamba. Kejahatan yang berhak untuk mendapatkan sebesar-besarnya hukuman. Kejahatan yang tidak ada ampun bagi pelakunya kalau dia mati dalam keadaan demikian. La haula walaa quwwata illa billah.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Allah akan mengampuni dosa selain syirik bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Barang siapa yang berbuat syirik kepada Allah maka dia telah melakukan dosa yang sangat besar.” (An Nisa 48 )

Dia Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ ُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

“Barang siapa yang berbuat syirik kepada Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan tempatnya adalah neraka. Dan tidak ada seorang penolongpun bagi orang-orang yang dzhalim.” (Al Ma’idah 72)

Rasulullah shallallahi ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ

“Maukah kalian aku beritahukan tentang sebesar-besarnya dosa?” Para shahabat berkata, “Tentu wahai Rasulullah!”. “Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua.” (HR. Bukhari 5802)

Tulisan ini mudah-mudahan cukup untuk memberikan gambaran global kepada kita untuk mengetahui apa itu syirik. Mudah-mudahan kita dilindungi oleh Allah Ta’ala dari perbuatan yang sangat keji ini. Wallahul Musta’an.

Allah Tidak Butuh Ibadah Kita

Ibadah. Sepotong kata yang berasal dari negeri jazirah dan telah tersisip sebagai perbendaharaan dari kosa kata Bahasa Indonesia. Mayoritas anak negeri ini -kalau tidak semuanya- sudah akrab telinganya mendengar kata-kata ini. Ibadah. Bahkan sekarang kata ini sudah lintas agama. Artinya hampir semua agama atau bahkan seluruhnya mengenal dan akrab dengan sepotong kata ini. Ibadah.

Kalo seseorang ditanya, apa sih definisi dari ibadah tersebut? Maka yang ditanya mungkin akan mengerenyitkan dahinya, memandang kepada penanya tanpa kedip menyiratkan bentuk keheranan seolah berkata “Aneh benar ni orang, gini hari kagak ngerti apa itu ibadah?”  Mungkin dia pikir, ibadah adalah kata yang sudah dimaklumi oleh banyak orang sehingga bukan hal yang bijak untuk menjawab pertanyaan terhadap suatu hal yang sudah dimaklumi ini. Seperti misalnya air. Air ya air. Tidak ada kata yang bisa mendefinisikan secara tepat dan sempurna apa itu air. Dan bahkan kalau didefinisikan malah akan membuat orang bingung.

Hmm, reaksi demikian adalah kewajaran. Toh kata ini sudah demikian akrabnya.

Tapi, apa itu ibadah?

Lho kok pertanyaannya tak bergeming?

Ya. Mungkin ada reaksi lain ketika mendengar pertanyaan ini selain reaksi di atas. Mungkin yang ditanya tersentak kaget, diam beberapa saat tanpa sepatah katapun yang terucap, terkesiap, seolah baru tersadarkan dari dunia mimpi dan pikirannya terusik, ekspresi wajahnya memperlihatkan sebuah kebingungan yang tak wajar,

“Apa ya?” Begitu akrabnya kata ini di telinga kita sehingga seolah kita sudah sangat paham maknanya. Tapi ketika telinga kita disentak dengan pertanyaan yang mungkin tak pernah terduga ini sadarlah kita ternyata banyak dari kita yang tidak bisa mendefinisikan kata ibadah ini. Okelah, kita bisa menyebutkan contoh. Kita bisa menjawab ibadah itu adalah sholat, puasa, zakat, sedekah, haji, dzikir dan lain-lain. Tapi itu bukan definisi! Itu adalah contoh!

Lalu apa?

Sabarlah! Memang artikel ini ditulis untuk itu. Maka bersiaplah!

Sebuah nama yang mencakup semua perkara yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala baik berupa perbuatan atau perkataan, baik secara lahir atau secara batin.

Itulah ibadah.

Allah memerintahkan kita untuk sholat, maka pastilah sholat adalah suatu yang dicintai Allah sehingga sholat adalah ibadah karena dia dicintai Allah.

Allah mencintai orang-orang yang bertaubat maka bertaubat adalah amal ibadah di sisi Allah. Begitu seterusnya.

Atau kalau mau kita rinci bisa kita katakan:

Setiap perbuatan yang sangat agung di sisi Allah dan RasulNya, atau Allah perintahkan, atau Allah puji perbuatan tersebut, atau memuji pelakunya, atau gembira terhadapnya, atau Dia cintai, atau Dia cintai pelakunya, atau Allah ridho terhadap perbuatan tersebut, atau ridho terhadap pelakunya, atau Allah sifatkan sebagai sesuatu yang baik, atau dengan keberkahan, atau dengan sifat yang bagus, atau menjadikannya sebagai sebab kecintaan Allah atau sebab mengalirnya pahala Allah, atau perbuatan itu sebagai sebab Allah menyebutkan hambanya, atau sebab syukurnya Allah, atau sebab untuk mendapatkan petunjukNya, atau sebab untuk mendapatkan ridho Allah, atau pelakunya disifati dengan kebaikan, atau Allah sifatkan bahwa perbuatan tersebut adalah perbuatan yang ma’ruf, atau Allah hilangkan kesedihan dan ketakutan dari sang pelaku, atau Allah janjikan keamanan bagi pelakunya, atau Allah jadikan sebab untuk pertolongan Allah, atau Allah khabarkan bahwa para rasul berdo’a untuk mendapatkannya, atau Allah sifatkan bahwa perbuatan tersebut adalah bentuk pendekatan diri kepadaNya, atau Allah bersumpah atas nama perbuatan tersebut atau dengan pelakunya, atau Allah tertawa dari pelakunya, atau Allah kagum terhadapnya, maka ini semua menunjukkan bahwa perkara tersebut disyariatkan untuk dilakukan apakah wajib atau sunnah. Semua perbuatan yang masuk salah satu dari kriteria-kriteria di atas, maka dia adalah ibadah.

Akan tetapi jika suatu perkara atau perbuatan tidak termasuk dari satu kriteria pun, maka perbuatan tersebut bisa haram, makruh atau mubah kalau tidak ada larangan padanya. Meninggalkan suatu perbuatan yang haram dan makruh adalah juga bentuk ibadah.

Maka dari definisi dan rincian di atas, maka banyak sekali bentuk amalah ibadah yang bisa kita dapatkan. Do’a, rasa takut, pengharapan, tawakkal, kekhusyukan, meminta pertolongan, meminta perlindungan, penyembelihan, nadzar, taubat, bersuci, berwudhu’, penyandaran diri, sholat, puasa, berdzikir, dzakat, haji, umroh, memelihara jenggot, menolong sesama, nikah, ta’at kepada orang tua, ta’at kepada pemerintah, jihad, menuntut ilmu, membaca Al Qur’an, taqwa, menutup aurat,dan lain sebagainya adalah termasuk ibadah. Selama memenuhi salah satu dari kriteria di atas.

Bahkan, sesuatu yang sifat dasarnya adalah mubah. Artinya boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan tanpa ada janji pahala di kedua hal. Kemudian dia niatkan  untuk sesuatu hal yang baik, maka sesuatu yang mubah atau boleh tadi bisa menjadi nilai ibadah baginya. Misalnya kalo dia meniatkan makan dan minumnya dalam rangka untuk memberi gizi dan vitamin agar tubuh kuat dalam beribadah. Maka dengan sebab niatnya ini makan dan minumnya menjadi ibadah baginya.

Subhanallah! Ternyata banyak sekali pintu kebaikan ini. Banyak sekali jalan bagi kita untuk merealisasikan tujuan dari penciptaan kita ini. Bahkan, kalau kita bisa mengoptimalkannya, maka setiap derap langkah kita bisa menjadi bentuk ibadah yang sangat bernilai. Tentu saja, dengan aturan-aturan syar’i  yang telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan sempurna.

Subhanallah! Alangkah indahnya seandainya kita sudah berhasil merealisasikan tujuan penciptaan kita ini. Berupa peribadahan terhadap Dzat yang telah menciptakan kita, memelihara kita, dan memberikan nikmat yang sungguh tidak terhitung kepada kita, yang menjaga kita, yang memberi hidayah kepada kita. Sungguh lezatnya ketika seluruh aspek gerak kehidupan kita bernilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. Apalagi kalau kita melihat lebih lanjut, ibadah yang kita lakukan, sisi kemanfaatannya tidak kembali kepada Allah Ta’ala. Jangan sampai ada yang mengira bahwasanya Allah butuh dengan ibadah kita. Allah Maha Kaya tidak butuh sedikitpun kepada makhlukNya. Beribadah atau tidaknya kita tidak membuat Allah untung atau rugi. Justru, sisi kemanfaatan ibadah tersebut kembali kepada hamba itu sendiri. Allah perintahkan kita untuk beribadah kepadaNya bukan karena Allah butuh akan ibadah kita. Siapa kita hingga Allah butuh kepada kita dan ibadah kita. Tapi camkanlah bahwa ibadah yang engkau lakukan, engkaulah yang akan merasakan manfaatnya!

Wabillahi at Taufiq.

Kenapa Aku Hidup?

Kehidupan ini seperti air yang mengalir. Mengalir sampai titik batas akhir dia mengalir. Sebagian orang hanya sekedar mengikuti arus kehidupan ini tanpa tahu untuk apa semestinya dia dilahirkan di muka bumi ini. Mereka hanya mengalir, mengalir dan mengalir. Sampai ketika mereka sampai pada muara kehidupan masing-masing, aliran itupun berhenti seiring dengan hembusan nafas terakhir tanpa dia mengerti kenapa aku diciptakan.

Sebagian yang lain mulai bertanya-tanya. Seiring dengan berkembangnya organ berpikir, dia pun bertanya-tanya, kenapa aku berada di sini mengalir bersama yang lainnya. Pasti ada hikmah sehingga Tuhan menciptakan dia bersama-sama orang yang mengalir tadi. Suatu proses berpikir yang menunjukkan kelebihan seorang manusia dibandingkan ciptaan Allah yang lain.

Proses pencarian pun dimulailah. Dengan cara yang macam-macam sesuai perkiraannya bahwa ini adalah cara yang paling tepat untuk mencari jati dirinya sebagai manusia.

Berhasilkah mereka? Yang jelas, sebagian mereka telah berhasil menemukan jati dirinya sebagai manusia. Jati diri hakiki yang memang karena itulah dia ada. Jati diri yang mereka temukan ketika mereka mencarinya dengan mengembalikannya kepada Dzat yang telah menciptakan mereka, Allah Subhanahu wa Ta’ala. Mereka dapatkan dari kalam Dzat Yang Maha Pencipta ini, Dia berkata:

أَيَحْسَبُ الْإِنْسَانُ أَنْ يُتْرَكَ سُدًى

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan begitu saja?” (Al Qiyamah 36)

Begitu juga mereka mendapatkan Dzat Yang Menciptakan Mereka ini berkata :

أَفَحَسِبْتُمْ أَنَّمَا خَلَقْنَاكُمْ عَبَثًا وَأَنَّكُمْ إِلَيْنَا لَا تُرْجَعُونَ

“Apakah kalian mengira bahwa Kami menciptakan kalian ini sia-sia belaka dan kalian mengira bahwa kalian tidak kembali kepada Kami?” (Al Mu’minun 115)

Hmm, benar ya Rabb. Tidak mungkin Engkau menciptakan kami dalam keadaan sia-sia. Tidak mungkin Engkau menciptakan kami begitu saja tanpa adanya tujuan yang sangat mulia.

Apakah tujuan tersebut?

Kembali kita merujuk kepada kalamnya Rabb kita :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Dan tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaku saja” (Adz Dzariyat 56).

Ooo, ternyata itu tho? Ternyata sederhana sekali ya jawabannya. Ibadah. Cape-cape nyari, ternyata jawabannya sudah ada. Gak pake’ banyak teori lagi. Dari sumber yang sangat jelas. Tidak diragukan kebenarannya. Karena ini adalah perkataan Dzat yang telah menciptakan kita. Yang sudah pasti kebenarannya. Yang sudah pasti bahwa Dia lebih tahu tentang makhluk ciptaannya.

Alhamdulillah, ternyata ketemu jawabannya. Kan tiap hari kita juga sudah ibadah. Minimal kan, sholat 5 waktu gak lupa. Ramadhan udah mesti puasa. Ini juga lagi nabung buat bisa naek haji. Berarti apa yang kita jalankan sudah sesuai dengan tujuan kita diciptakan.

O ya?

Demikiankah?

Coba perhatikan lagi deh ayatnya.

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

“Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali dengan tujuan agar mereka beribadah kepadaku saja” (Adz Dzariyat 56).

Ibadah itu tujuan hidup. Bukan sampingan. Ibadah itu kebutuhan primer. Bukan sekunder. Bahkan lebih primer dibandingkan dibandingkan pangan, sandang, papan. Allah tidak menyebutkan bahwa tujuan Dia menciptakan jin dan manusia adalah agar mereka makan, berpakaian, atau pun bisa bertempat tinggal. Cuma satu tujuan yang Dia sebutkan. Ibadah.

Begitu juga Allah Ta’ala tidaklah mengutus para Rasulnya kepada umatnya masing-masing, kecuali dengan seruan agar umat mereka beribadah kepada Allah semata. Kecuali mengajarkan bagaimana agar umat bisa beribadah dengan ibadah yang benar kepada Allah. Nabi Nuh ‘alaihi salam berkata kepada kaumnya:

اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Beribadahlah kalian kepada Allah saja. Tidak ada yang patut diibadahi selain Allah”(Al A’raf 59)

Begitu juga halnya dengan Nabi Hud, Sholeh, Syu’aib, dan yang lainnya ‘alaihim assalam kepada kaum mereka masing-masing.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

“Dan sungguh telah kami utus kepada setiap umat ini seorang rasul, (mereka menyerukan kepada kaumnya) “Beribadahlah kalian kepada Allah, dan jauhilah thogut.”(An Nahl 36)

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلَّا نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنَا فَاعْبُدُونِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasulpun sebelum engkau kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi kecuali diriKu maka beribadahlah kepadaku” (Al Anbiya’ 25)

Perhatikanlah ayat-ayat di atas!

Allah telah menjelaskan bahwa dia tidaklah menciptakan manusia ini dalam keadaan sia-sia. Allah telah menjelaskan tujuan penciptaan jin dan manusia ini untuk agar mereka beribadah kepada Allah. Allah juga menjelaskan bahwasanya Dia mengutus rasul-rasulNya untuk mengajari umatnya bagaimana mereka bisa beribadah dengan baik dan benar. Mereka mengajari umatnya bagaimana merealisasikan tujuan asal dari penciptaan mereka.

Sekarang, kita tanya pada diri kita sendiri, sadarkah diriku tentang kenapa aku diciptakan Allah di muka bumi ini? Kenapa Allah ciptakan aku sebagai bagian dari anak manusia? Sudahkah diriku mewujudkan dan merealisasikan tujuan ini? Tidak! Tidak! Aku tidak bertanya apakah aku sudah beribadah atau belum? Semua orang akan menjawab dia telah beribadah. Tapi aku bertanya apakah aku sudah menjadikan ibadah tersebut benar-benar sebagai tujuan hidupku? Sudahkah aku menghitung setiap waktu, setiap menit dan detik, setiap nafas yang berhembus, setiap detak jantung, dan setiap denyut nadiku sebagai suatu ibadah kepada Allah Ta’ala?

La haula walaa quwwata illa billah.